اهل السنة والجماعة

Seputar Islam - Dakwah - Sunnah - Jihad - Global News - Amar ma'ruf - Nahi Munkar - Fiqih - Aqidah

Selasa, 07 Maret 2017

Sisi Paksa Demokrasi

Sering kita mendengar kata demokratis. Kata tersebut cenderung dipersepsikan positif, nyaris tak tersisa sisi negatifnya sama sekali. Seolah hasil yang demokratis adalah hasil yang sempurna semua sisinya dan direstui semua pihak.

Padahal kata demokratis tetap mengandung persoalan, mengikuti masalah bawaan induknya, demokrasi. Ambil contoh UU pilkada, calon yang mendapat suara lebih tinggi dari lawan-lawannya, ia sudah sah menang, berapapun selisih suaranya. Selanjutnya disebut kemenangan demokratis.

Misalnya, ada 4 pasangan calon, A mendapat 30%, B mendapat 29%, C mendapat 26% dan D mendapat 15% maka otomatis paslon A dinyatakan menang secara demokratis. Padahal si A hanya "dibaiat" oleh kurang dari 1/3 pemilih, dan selisihnya hanya 1% dengan paslon terdekat.

Maknanya ada 70% pemilih yang "dipaksa" untuk menerima sosok yang tidak disukainya. Aslinya ini melanggar pikiran dasar demokrasi, tapi karena terlalu menyulitkan jika harus mendapat suara terbanyak secara absolut, maka digunakanlah pendekatan permakluman dan pemaksaan.

Kekuasaan yang dilembagakan dalam sistem, tak pernah bisa lepas dari sunnatullah pemaksaan dan permakluman. Tanpa pemaksaan dan permakluman, manusia tak akan bisa dikendalikan.

Rumusan UU dan mekanisme pemilu adalah contoh pemaksaan, meski terasa halus. Pada intinya, semua aturan itu akan mentah jika tak didukung kekuatan pemaksa.

Logika serupa berlaku untuk Islam. Sebagai sebuah sistem kehidupan sosial dan bernegara, Islam juga mengandung sisi paksaan.

Bedanya, mekanisme pemaksaan dalam demokrasi murni bersandar pada kesepakatan dan aspirasi manusia. Sementara mekanisme pemaksaan dalam Islam berasal dari Allah, bukan pendapat dan nafsu manusia.

Dalam Islam, pelaku kemunkaran di-nahi munkar. Orang menyebutnya itu tidak demokratis karena mengandung unsur pemaksaan. Tapi anehnya saat pilkada disebut demokratis padahal mengandung pemaksaan juga.

Jelaslah kini bedanya, jika mandat sebuah aturan itu berasal dari Allah sampai kapanpun tak akan disebut demokratis, tapi fanatik atau bahkan anarkis. Tapi kalau dari akal manusia, semunkar apapun berhak disebut demokratis.

Kesimpulan ini bukan dalam konteks Islam mengemis agar diakui oleh sistem demokrasi. Tapi sekedar pikiran kritis, bahwa jika Anda menolak Islam karena sisi memaksanya, ketahuilah demokrasi juga mengandung pemaksaan. Afala tatafakkarun?
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive