اهل السنة والجماعة

Seputar Islam - Dakwah - Sunnah - Jihad - Global News - Amar ma'ruf - Nahi Munkar - Fiqih - Aqidah

Selasa, 07 Maret 2017

Rohingya dan Ulil Amri

Tahun lalu - sejak pertengahan Nopember 2016 -gambar dan video kekejaman rezim Myanmar kepada muslim Rohingya menjadi viral di media sosial masyarakat. Hati kita terasa teriris menyaksikannya. Apalagi dihadapkan pada realita jumlah kita begitu besar tapi terasa begitu lemah dan hina karena tak mampu membela mereka.

Rasa pilu bertambah karena jarak kita dengan mereka dekat, masih dalam satu kawasan; ASEAN. Kalau musibah terjadi di negeri jauh, alasan kesulitan membela agak bisa dimaklumi. Tapi ketika terjadi di halaman belakang rumah kita rasanya berat, lebih menyesakkan dada.

Perkampungan masyarakat Rohingya dihancurkan oleh rezim Budha. Muslimin diserang secara brutal dan ribuan sudah menjadi korban. Kondisi ini dalam kitab fiqh disebut دفع الصائل atau mempertahankan diri dari serangan musuh. Apa yang harus dilakukan muslim lain yang berdekatan? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan:

قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله:

"وإذا دخل العدو بلاد الإسلام فلا ريب أنه يجب دفعه على الأقرب فالأقرب إذ بلاد الإسلام كلها بمنزلة البلدة الواحدة وأنه يجب النفير إليه بلا إذن والد ولا غريم - الفتاوى الكبرى ج: 4 ص: 609.
Ibnu Taimiyah:
Jika musuh menyerbu negeri Islam, tak ada keraguan akan wajibnya umat Islam untuk membela diri, dari lokasi yang paling dekat urut sampai lokasi yang paling jauh, sebab seluruh negeri Islam sejatinya terikat kesatuan sebagaimana satu negeri, dan tingkat wajibnya membantu hingga anak tak perlu izin orang tua dan orang berhutang tak perlu izin pemberi hutang. ( al-fatawa al-kubra 4/609)

Jika mengacu pada fatwa ini, maka umat Islam yang terkena kewajiban membantu adalah yang terdekat lokasinya, lalu yang lebih jauh dan seterusnya hingga persoalan ini bisa diselesaikan. Karena itu, semua umat Islam di kawasan ASEAN terkena kewajiban.

Substansi fatwa Ibnu Taimiyah dan keterangan serupa dari para ulama lain adalah terselamatkannya nyawa muslim yang terancam. Kondisi ini begitu darurat sehingga dalam membantu dibutuhkan kecepatan, seperti daruratnya kebakaran. Lambat mengantisipasi, satu lingkungan akan habis terbakar.

Pertimbangan darurat pula yang menyebabkan segala faktor penghambat harus dikalahkan, seperti keharusan izin orang tua atau pemberi hutang. Sebab orang tua atau pemberi hutang boleh jadi tak mengizinkan, yang karenanya menjadi penghambat pertolongan.

Maka siapapun yang punya kemampuan berangkat dan hadir membantu ia terkena kewajiban. Tentu kehadiran yang meringankan bukan justru menambah beban warga setempat.

Seandainya ada ulil amri yang mengambil inisiatif memimpin umat Islam dalam menunaikan kewajiban ini, tentu lebih baik. Bisa memobilisir lebih banyak orang, lebih rapi, cepat dan dampaknya luas. Tapi jika ulil amrinya terpenjara oleh sistem sehingga mustahil untuk memimpin umat, maka kewajiban ini tidak lantas hilang dari pundak umat Islam.

Dengan demikian, menjajakan doktrin jihad harus bersama ulil amri dalam realita ulil amri terbelenggu sistem sekuler dan jenis jihadnya adalah membela diri seperti kasus Rohingya adalah keliru. Doktrin jihad bersama ulil amri itu benar, tapi salah jika dipasang untuk realita membela Rohingya dan ulil amrinya terpenjara seperti saat ini.

Doktrin jihad bersama ulil amri itu benar jika jihadnya adalah jihad thalab (ofensif), tapi jika jihadnya adalah jihad daf'iy (defensif) maka doktrin ini tidak berlaku. Sebagaimana tidak berlakunya izin kepada orang tua. Sebab substansi hukumnya adalah menyelamatkan nyawa dan mempertahankan wilayah.  Semua hambatan teknis harus dihilangkan, sebagaimana semua sarana penunjang boleh ditempuh demi suatu alasan yang disebut darurat.

Jika kita umat Islam belum bisa mengirim mujahid untuk membela muslim Rohingya karena belum mampu, itu masih bisa diterima walau sesak dada. Tapi menjadi tragis jika tidak membela mereka karena tidak terbelenggu keharusan izin ulil amri.

Kalangan yang mengharuskan izin ulil amri anehnya belum pernah terdengar kabar datang ke istana untuk minta izin.
Walhasil jangan-jangan pendapat itu hanya dalih untuk tidak membela saudara mulim di negara lain yang teraniaya. Diam berpangku tangan tapi bisa merasa shalih karena terlindungi oleh fakta tak diizinkan ulil amri.

Harusnya dalam memilih pendapat tetap jujur. Bila memang mengharuskan izin ulil amri, diurus izinnya, dan persiapkan mujahidnya. Jangan mengambil pendapat itu tapi diiringi tidak melakukan persiapan apapun. Ini yang menjadi tanda tanya. Ada apa di balik ini semua.

Wallahu a'lam

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive