اهل السنة والجماعة

Seputar Islam - Dakwah - Sunnah - Jihad - Global News - Amar ma'ruf - Nahi Munkar - Fiqih - Aqidah

Selasa, 07 Maret 2017

Islam Gamau Diduain


Bagaimana cara terbaik menghafal Al-Quran? Jika pertanyaan ini diajukan kepada pengasuh pesantren tahfidz Wadi Mubarak Bogor, jawabannya singkat: harus fokus, tak menduakan Al-Quran.

Dalam kurikulum mereka, menghafal Al-Quran sampai mutqin (hafal seluruhnya secara lancar dari juz 1 hingga 30) perlu 2 tahun. Tahun pertama, santri fokus menghafal. Seluruh waktunya hanya untuk menghafal dan mengulang. Tak boleh ada pelajaran lain yang membebani.

Tahun kedua, fokus mengulang sambil belajar ilmu penunjang seperti bahasa Arab dan ulum syar'iyah yang lain. Setelah 2 tahun insyaallah hafalannya mantab.

Kurikulum itu hasil eksperimen panjang. Awalnya sejak tahun pertama sudah ditambah pelajaran non hafalan. Tapi setelah dievaluasi, hasilnya mengecewakan. Maka mereka menarik kesimpulan, Al-Quran itu kitab mulia, gamau diduain. Kalau mau menghafal Al-Quran harus fokus, jangan menduakannya dengan pelajaran lain, apalagi sambilan. Terbukti setelah diterapkan kurikulum baru, pencapaian hafalan bisa maksimal. Para santri berhasil mutqin dalam dua tahun.

Begitulah kemuliaan Al-Quran dan Islam karena ia perpanjangan kemuliaan Allah. Para hamba harus berinteraksi secara fokus, eksklusif dan totalitas, tak bisa sambilan, menduakan atau setengah hati.

Saat membela dan memenangkan Islam juga demikian, harus fokus, total dan tuntas. Jika kemenangan Islam masih mengandung dualisme dalam satu ruang yang sama, harus tetap dicari berbagai cara dan dilakukan segala upaya untuk menjadikannya pemenang tunggal.

Sebagai contoh, perjuangan membumikan ekonomi syariah di Indonesia. Dibolehkannya ekonomi syariah masuk ke Indonesia pada kurun 1990-an, melalui banyak bargaining. Bahkan penggunaan istilah bank syariah, sebagai penghalusan dari istilah bank Islam merupakan hasil negosiasi, sebab jika mengunakan istilah bank Islam dianggap terlalu ekstrim pada masa itu sehingga berpotensi ditolak. Hasilnya, Indonesia menjadi negara unik, satu-satunya negara yang memakai istilah bank syariah bukan bank Islam.

Bargaining kedua, hak hidup bank syariah bersifat pasif. Ekonomi syariah hanya boleh hidup tapi dilarang menyingkirkan ekonomi liberal (baca: riba) yang sudah lebih dulu ada. Tak hanya itu, bank syariah hanya boleh hidup secara subordinat dari bank sentral yang riba, sebagai sebuah window, bukan dual system.

Kondisi seperti ini sama sekali bukan kondisi ideal yang diinginkan Islam. Pencapaian ini masih menyisakan kehinaan bagi Islam, meski harus tetap diakui dan dihargai prestasi para pejuangnya.

Ekonomi syariah baru punya hak hidup 'nyempil' di tengah hegemoni ekonomi riba. Padahal yang diinginkan Islam adalah ekonomi Islam menjadi penguasa tunggal sistem ekonomi negara dan ekonomi riba tak punya hak hidup sama sekali karena diharamkan Allah. Islam tak mau diduakan, tak sanggup hidup berdampingan dengan musuhnya. Dan muslim dilarang memelihara barang haram, apalagi mengkonsumsinya.

Logika kemuliaan ini sangat sederhana. Menjadi rumit karena umat Islam lemah sehingga tak mampu mengusung dan memaksakan standar kemuliaan Islam. Pada akhirnya umat Islam baru bisa pakai jurus "daripada tidak sama sekali".

Apa yang sudah dicapai dalam rangka mendekatkan Islam kepada kehidupan sosial masyarakat, harus didukung dan diapresiasi. Tapi tak boleh lupa dengan misi suci: mengembalikan Islam kepada standar kemuliaannya yang paling tinggi, ekskluaif, dan tak mau diduakan. Dan jangan sampai pencapaian yang belum ideal ini menghalangi upaya mengembalikan kemuliaannya hanya karena sudah merasa puas dengan kondisi yang ada.

Hamba Allah akan mulia jika memuliakan Allah, Al-Quran dan Islam. Dan penyakit gampang puas sebelum mencapai puncak kemuliaan harus dibuang, karena hanya akan melanggengkan kehinaan.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive