Pekan kemarin, Donald Trump dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bertemu. Banyak kesamaan antara keduanya. Mereka adalah pemimpin yang bombastik dan suka menggunakan klaim-klaim tanpa bukti, penjual ketakutan dan stereotip untuk menunjang kebijakan-kebijakan yang rasis, diskriminatif, dan penuh kekerasan.
Awal Februari kemarin, Trump melakukan tuduhan tanpa bukti bahwa banyak orang diangkut ke New Hampshire untuk tidak memilihnya. Sikap yang sama persis dilakukan oleh Netanyahu pada pemilu Israel 2015 silam. Ia melakukan tuduhan rasis bahwa para pemilih Arab berbondong-bondong diangkut untuk tidak memilihnya. Keduanya juga saling memuji kebijakan masing-masing.
Bahkan Trump mengaku terinspirasi oleh Israel sebagai model terkait dengan kebijakan membuat tembok pada perbatasan AS-Mexico. Netanyahu pun memberikan dukungannya melalui Twitter.
Kebijakan larangan perjalanan yang dibuat Trump atas warga Muslim, jika ditelusuri, ternyata merupakan saran yang sudah lama disampaikan oleh Netanyahu. Trump dan penasihat terdekatnya, Steve Bannon, memainkan playbook yang pernah ditulis oleh Netanyahu terkait dengan Islam radikal. Pada tahun 1996, Netanyahu pernah menulis sebuah buku yang berjudul Fighting Terrorism, “Teroris dari Timur Tengah dan wilayah lainnya telah menjadikan Amerika, Jerman, Italia, dan negara lainnya sebagai tempat perlindungan.”
Israel sudah membuat kebijakan imigrasi yang diskriminatif, yang mengistimewakan imigran Yahudi namun mencegah pengungsi Palestina pulang ke rumahnya sendiri. Mereka juga melakukan larangan imigrasi kepada beberapa negara Arab seperti Irak, Suriah, dan Lebanon.
Retorika Trump terkait terorisme, yang secara tegas membidik Islam dan umat Islam, ternyata juga banyak berakar di Israel dan Netanyahu. Jurnalis Kevin Toomis, pada tahun 2004 pernah menulis bahwa Netanyahu adalah figur sentral dalam pembangunan diskursus tentang kontraterorisme. Menurut Toomis, Netanyahu adalah “seorang intelektual gadungan yang menjustifikasi Islamophobia yang otoriter dan represif.”
Sikap anti-Muslim memang bukanlah hal yang baru dalam diskursus kontraterorisme dan keamanan nasional Amerika dan Israel. Tapi, dalam konteks kepresidenan Trump dan pertemuannya dengan Netanyahu, kita perlu memahami peran yang dimainkan Israel dan Netanyahu untuk melanggengkan framing anti Islam dalam kontraterorisme.
Mendefinisikan Terorisme
Para akademisi menyimpulkan bahwa sebuah simposium yang diadakan di Israel pada tahun 1979 adalah titik balik yang membuat dunia memahami terorisme sebagaimana sekarang. Pada waktu itu, Jonathan Institute—yang didirikan untuk mengenang kematian saudara Benjamin Netanyahu, Yonatan, saat operasi penyelamatan sandera dari pembajakan PLO—mengadakan sebuah konferensi di Jerusalem dengan tema “terorisme internasional”.
Jonathan Institute dikenal sangat dekat dengan pemerintah Israel. Para pejabat Israel, baik yang masih bertugas maupun yang sudah tidak lagi menjabat, banyak mendominasi komite administratifnya. Sebut saja Golda Meir, Menachem Begin, Yitzhak Rabin, Ezer Weizman, Moshe Dayan, dan Shimon Peres.
Lisa Stampnitsky, dalam bukunya Disciplining Terror, membahas bagaimana Jonathan Institute membantu menginternasionalkan cara pandang Israel dalam menjelaskan terorisme sebagai sebuah alat dan tujuan yang tidak rasional dan tidak legitimate, dan secara khusus hanya diarahkan pada kekerasan yang ditujukan terhadap demokrasi dan Barat.
Cara pandang ini membantu Israel mendelegitimasi tujuan politik kelompok tertentu, seperti perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan di wilayah mereka. Seseorang tidak bisa disebut “pejuang kemerdekaan” jika tujuan politik mereka didemonisasi sebagai satu hal yang tidak legitimate atau tidak rasional.
Stampnitsky berpendapat bahwa pergeseran penggunaan istilah terorisme yang diarahkan pada kekerasan di luar hukum juga menjadi dalih serangan atas nama balas dendam (sebagaimana saat Amerika Serikat melakukan serangan udara di Libya sebagai balasan atas pengeboman di diskotik Berlin yang menewaskan seorang tentara Amerika) dan juga dalih bagi serangan preemptive sebagaimana yang menjadi ciri khas “Perang Melawan Teror” pasca 9/11.
Peranan Israel dalam pembangunan diskursus terorisme anti-Muslim sangat mengakar dalam kebijakan luar negeri para politisi Amerika. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Deepa Kumar dan para akademisi lainnya, kelompok neo konservatif Amerika dan partai Likud membangun bahasa yang sama tentang terorisme Islam.
Konferensi Jonathan Institute tahun 1979 waktu itu dihadiri oleh pada pejabat penting dan tokoh politik Amerika Amerika, termasuk George H.W. Bush dan para perwakilan dari the American Enterprise Institute, the Center for Strategic and International Studies, dan majalah Commentary yang kemudian mengusulkan agar konferensi semacam itu juga diadakan di Amerika.
Konferensi Jerusalem bertujuan untuk menyadarkan dunia Barat akan masalah terorisme sebagai mana yang didefinisikan dalam konferensi tersebut. Konferensi tersebut menjadi salah satu basis dari konsep “clash of civilization” yang kemudian populer beberapa tahun setelahnya.
Konferensi lanjutan, yang diadakan di Amerika pada tahun 1984, semakin mengerucut dengan menegaskan hubungan antara Islam dan teror. Sebagaimana yang ditulis sendiri oleh Netanyahu dalam buku panduan konferensi tersebut, “perang melawan terorisme merupakan bagian dari perjuangan yang jauh lebih besar, antara pasukan berperadaban melawan pasukan barbarisme.”
Waktu itu, dan juga sekarang, Netanyahu menampilkan Israel sebagai benteng melawan terorisme, yang mereka definisikan secara khusus sebagai kekerasan politik yang tidak sah yang tidak hanya mengancam Israel namun juga demokrasi dan dunia Barat.
Trump Mengambil Tongkat Estafet
Framing mengenai definisi terorisme ala Israel ini banyak kita dapatkan dalam retorika para politisi Barat, termasuk Netanyahu dan Trump. Terorisme, yang sampai sekarang tidak ada satu pun definisi yang disepakati baik di dalam hukum Amerika maupun hukum internasional, kini dipakai sebagai sebutan untuk semua kekerasan yang dianggap tidak sah oleh negara.
Bahkan hari ini, para pengusung demokrasi Barat menggunakan “terorisme” secara khusus sebagai tuduhan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh Muslim. Sebagaimana yang ditulis oleh Glenn Greenwald, “segala kekerasan yang dilakukan oleh Muslim terhadap Barat secara inheren dituduh sebagai ‘terorisme’, bahkan meski targetnya hanya kepada tentara di medan perang dan/atau dilakukan untuk melawan invasi dan penjajahan.”
Istilah terorisme pun kini bukan lagi sebagai alat deskriptif, tapi alat ideologi. Ia tidak lagi sekadar mengidentifiaksi jenis tertentu dari kekerasan, tapi justru menjustifikasi respon penuh kekerasan yang dilakukan oleh negara.
Israel kini menampilkan diri sebagai pakar kontraterorisme dunia. Mereka memelihara sebuah industri keamanan yang sangat menguntungkan dengan menjual keahlian dan teknologi yang selama ini sudah diuji dalam melawan rakyat Palestina.
Pajak rakyat Amerika diarahkan kepada industri ini melalui bantuan militer Amerika. Israel diperbolehkan untuk menggunakan lebih dari 25% dari bantuan tersebut untuk keperluan domestik. Amerika dan Israel juga berkolaborasi dalam program kontraterorisme, termasuk latihan militer gabungan dan program pertukaran kebijakan.
Dalam hal ini, kebijakan imigrasi anti Muslim Donald Trump bukanlah hal yang baru.